Anetry.Net – Memantaskan diri menjadi sasaran pujian manusia, sering membuat orang lupa tentang fakta kehidupan.
Siapa yang tidak ingin melihat orang-orang yang dicintai
dan disayanginya bahagia? Semua pasti menjawabnya dengan anggukan kepala.
Anggukan yang sejatinya masih perlu dipertanyakan lagi lebih dalam, siapa
bertangungjawab untuk siapa.
Seorang perempuan, yang dinisbahkan sebagai ibu dari
semua makhluk di dunia ini, adalah sosok yang memiliki marwah lebih tinggi
daripada kaum lelaki. Tidak perlu ada kata emansipasi bila setiap orang paham
kenyataan yang telah ditanamkan lebih dulu oleh Islam, sebagai agama pembawa
keselamatan ke muka bumi.
Perempuan bukanlah makhluk rendah yang hanya dijadikan
sebagai figuran yang tak memiliki arti. Perempuan bukan pula sebagai selongsong
peluru untuk pengantar bulir-bulir kebutuhan gender di sebelahnya. Tidak sama
sekali.
Perempuan adalah makhluk terindah yang diciptakan Allah
SWT sebagai pendamping kaum Adam. Karenanya perempuan diibaratkan berasal dari
tulang rusuk sebelah kiri. Karena itu pula setiap langkah pasangan di muka bumi
ini, mengambil analogi tersebut; bila seorang laki-laki berjalan bersisian
dengan perempuannya, maka perempuan berada di sebelah kiri.
Kebiasaan yang telah membudaya tersebut, melambangkan
bahwa sebenarnya secara kasat mata sudah terlihat, perempuan adalah penyempurna
kehidupan laki-laki; bukan sebagai kacung yang hanya dijadikan pelengkap kebutuhan.
Bagaimana faktanya di tengah masyarakat? Akan sangat
banyak kaum laki-laki yang tersinggung bila hal ini diutarakan. Perempuan
bahkan menjadi ‘keset’ saja pada sebagian kehidupan yang dijalaninya. Perempuan
bahkan seolah lebih hina dari itu semua, sosok yang hanya ‘dianggap’ bila
dibutuhkan, diberi ucapan dan kedipan cinta saat birahi laki-laki memuncak,
namun kembali dibuang ke bawah kakinya bila tak lagi diperlukan.
Sungguh suatu kenyataan yang sangat tidak pantas telah terjadi
dalam tatanan sebagian masyarakat. Tidak perlu menyebut daerah, tidak perlu pula
menunjuk sosok atau kelompok yang membuat perempuan seolah makhluk hina, tapi
ini terjadi dan nyata.
Pernahkah anda menonton serial televisi berjudul ‘Dunia
Terbalik’? Itulah gambaran nyata yang tak dapat disangkal oleh laki-laki yang
hanya membutuhkan perempuan sebagai pekerja. Pulangnya seorang perempuan ke
rumahnya, disambut dengan senyuman lebar dengan harapan ‘oleh-oleh’ berupa
hasil dari profesinya. Seolah perempuanlah yang harus mencari nafkah, lalu pulang
untuk menghidupi laki-laki.
Ini kenyataan, ini dunia nyata. Seorang teman
menyebutkan, ‘sepertinya dunia benar-benar sudah terbalik’, karena yang sesuai
tuntunan justru dianggap aneh. Sekarang laki-laki yang menghidupi keluarganya,
keluar rumah mencari nafkah dengan cara apapun bahkan jungkir balik, dianggap
sudah tidak tren lagi. Lalu trennya apa? Perempuan yang harus memenuhi
kebutuhan, itu pendapat mereka.
Tatanan ini bahkan telah pula mendapatkan justifikasi dari masyarakat sosial.
Sebagai contoh, bila seorang perempuan bersuamikan lelaki yang tidak pernah
menghidupi keluarganya, lalu si perempuan ‘memilih’ untuk menentukan nasibnya
sendiri di kemudian hari, sering dianggap masyarakat sebagai perempuan tidak
benar. Dianggap tidak mensyukuri nikmat yang diberikan oleh Tuhan. Benar-benar
persepsi yang telah keluar dari tuntunan.
Sementara itu, bila dilebarkan bahasan ini pada tatanan
sosial di mana si perempuan yang menginginkan hidupnya lebih baik itu, kerap terjadi
perselisihan pendapat bahkan oleh orang-orang terdekatnya; bisa jadi saudara,
keluarga dari pihak ayah atau ibunya. Tak jarang didengar di masyarakat tentang
keluhan seorang perempuan saat membutuhkan bantuan dari pihak keluarga dalam mengatasi
persoalan hidupnya, malah berubah menjadi pendapat-pendapat miring.
“Jalani saja, aku tidak bisa ikut campur urusanmu.”
Begitu kalimat yang diterimanya. Atau pada saat lain, “jangan bikin malu
keluarga, apa kata orang bila keinginanmu itu jadi kenyataan. Malu keluarga
kita.”
Aneh memang, tapi sekali lagi ini kenyataan dalam
kehidupan manusia. Dunia benar-benar telah terbalik, tak lagi memberi ruang
pada makhluk yang bernama perempuan untuk menentukan arah hidupnya agar semakin
baik. Seolah kata ‘bahagia’ hanyalah candaan bila diinginkan seorang perempuan.
Haruskah perempuan mengalah? Haruskah ia mengorbankan diri dan kebahagiannya
hingga ajal datang menjemput hanya karena persepsi sosial yang salah? Harus
malukah perempuan bila mememilih menentukan arah hidupnya untuk meraih sesuatu
yang ia butuhkan dan perlukan? Tidak bolehkah perempuan bahagia?
“Tidak. Ini tidak boleh terjadi. Perempuan harus
mendapatkan tempat selayaknya sesuai dengan tuntunan.” Demikian ujar seorang
teman lain yang memahami tingginya marwah keturunan Hawa itu.
“Perempuan sebagai pribadi, memiliki hak untuk mementukan
dirinya hendak kemana. Bila sesuai dengan arah yang diridhai Allah, maka
seharusnya diberi dukungan penuh oleh orang-orang terdekatnya. Persoalan
perempuan bukan persoalan remeh, karena dia adalah ukuran kebaikan sebuah negeri.
Bila perempuannya baik [red: keadaannya]
maka baiklah negeri itu, bila buruk perempuannya, maka hancurlah negeri
tersebut.
Sebagai bahan pemikiran bagi semua pembaca, hidup seorang
perempuan bukan untuk dicerca atau direndahkan. Ia adalah makhluk yang pantas
dan wajib diberi cinta yang tulus, dijadikan pendamping, sebagai penyempurna
kehidupan laki-laki.
Pesan kepada laki-laki yang memiliki posisi sebagai
kepala keluarga, bilamana perempuanmu berprofesi apapun (selagi baik), dan ia
memberikan sebagian penghasilannya kepadamu untuk membantu tugas-tugasmu
sebagai laki-laki, maka itu adalah sumbangan. Artinya, itu adalah bukti
perempuanmu memiliki cinta padamu, bukan karena ia merasa bertangungjawab.
Ingatlah wahai kaum lelaki, bila dirinya seolah jadi ‘babu’
saat keluar rumah, jadi anak buah orang untuk menghasilkan rejeki, ketika ia
pulang ke rumah jadikan ia ratu yang wajib kau sanjung, kau puji, kau utamakan
lebih dari apapun; bahkan lebih dari dirimu sendiri! (*)
Penulis: NITM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.