Lembata, Anetry.Net – Salah satu jalan menyiapkan generasi adalah melalui pendidikan. Hal ini pula yang sudah ada di kepala John SJ Batafor.
John adalah seorang aktivis pendidikan
di Kabupaten Lembata Nusa Tenggara Timur. Ia mengelola Taman Daun Lembata yang
didirikan kakak sepupunya, Goris Ubas Batafor pada 1987 untuk memberikan
pendidikan gratis pada anak-anak di Lembata.
Taman
Daun Lembata bermula dari kumpulan anak-anak yang dibawa ibu mereka saat
pemberdayaan tenun. Selama menunggu ibu mereka menenun, daripada mengganggu, Goris mengajak anak-anak belajar membaca. Goris yang beberapa kali keliling kota di Indonesia membawa
pulang oleh-oleh buku ke Lembata. Buku-buku itulah yang menjadi teman
anak-anak.
"Dari situ mulai bergerak ke
pendidikan. Cuma kakak enggak tahu
kenapa, enggak terlalu fokus,
(akhirnya) saya ambil alih," cerita John saat diwawancari media Medcom.id, Senin lalu.
Kini Taman Daun tersebar di seluruh desa di Lembata. Saat ini, ada 15
cabang Rumah Gemohing atau biasa disebut kelas belajar. Gemohing sendiri bermakna gotong royong. Di masyarakat NTT, gemohing diartikan sebagai aktivitas bersama sekumpulan orang untuk
menjalankan satu kegiatan di dalam kampung.
John memahami, untuk membangun negara menjadi besar,
anak-anak mesti mulai membangun desa mereka. Apalagi, masih banyak wilayah
tertinggal di Lembata yang membutuhkan perubahan.
Dibantu guru dan relawan mengajar anak-anak yang berjumlah hampir 200
orang di pusat Taman Daun Lembata yang terletak di Lewoleba, Kecamatan
Nubatukan, Kabupaten Lembata. Sementara itu, jumlahnya mencapai ribuan anak di
15 cabang Taman Daun Lembata.
Anak-anak mendapat pembelajaran setiap
Senin-Jumat sepulang sekolah selama 1,5-2 jam, terkadang pelajaran tambahan pada
Sabtu.
Mereka tak cuma diajari orang lokal tapi
juga relawan warga negara asing (WNA). Lewat WNA, anak-anak diajarkan bahasa
Inggris juga saling bertukar budaya. Berbeda dari sekolah formal, anak-anak sengaja
didekatkan dengan alam di Taman Daun Lembata. "Di sini tidak ada dinding,
kalau hujan atap ada, tapi tidak ada dinding," kata John sambil tertawa.
Pelajaran untuk anak-anak berorientasi
pada alam, seni, dan budaya. Selain belajar baca dan tulis, anak-anak
mendapatkan pelajaran sesuai potensi yang ada di sekitar mereka. Desa di
sekitar pesisir misalnya, anak-anak bakal banyak mendapat pelajaran soal cara
menjaga laut.
John menyebut melalui Taman Daun
Lembata, dia mendorong anak-anak mengenali lingkungannya. Serta menganalisa
potensi yang dimiliki desa mereka. Ia ingin anak-anak yang belajar kelak bisa membagun desa. Apalagi,
bila mereka sudah sudah mengenali potensi desanya.
"Karena kalau mereka besar, kalau
mereka menjadi kepala desa, mereka bisa jadi kepala desa yang mampu biayai desa
sendiri, mereka bisa kelola potensi alam yang dimiliki," tutur John.
Sejumlah program yang dijalankan Taman
Daun Lembata, seperti penanaman
terumbu karang, penanaman sayur, mengunjungi komunitas baby turttle,
camping, hingga mengunjungi desa wisata. Di basecamp pusat Taman Daun Lembata, John juga menyiapkan tanah
kosong untuk anak-anak menanam sayur. Anak-anak diberikan bibit sayur dan mesti
menanam hingga panen.
Setelah panen, sayur dibawa pulang
secukupnya untuk makan bersama keluarga. Sedangkan, sisanya dijual. "Uang
jual sayur, 75 persen tabungan 25 persennya untuk beli bibit tanam lagi. Mereka
punya tabungan untuk sekolah sehingga tidak membebankan pengeluaran orang tua.
Karena biaya terbesar itu jenjang universitas," ucap John.
John mengaku, baik orang tua maupun
anak-anak senang dengan keberadaan Taman Daun Lembata. Sebab, anak-anak
mendapat banyak pengetahuan di luar sekolah formal. Di sana juga menyediakan
perpustakaan dan museum mini yang memibikin anak-anak makin betah.
Perjalanan John membentuk anak-anak
berkontribusi bukan hanya untuk desa tetapi negara masih jauh. Namun, dia
senang Taman Daun Lembata membuat potensi anak-anak keluar. Mereka yang belajar di
Taman Daun Lembata juga berprestasi di sekolah formal. Mereka kerap mengikuti
lomba dan tampil di sekolah.
"Anak-anak Lembata ini pintar cuma
bagaimana kita dorong mereka," tutur John.
John juga menceritakan, ia sempat kesulitan membayar
gaji guru sebesar Rp500 ribu per bulan. Hal itu membuat Rumah
Gemohing di tujuh desa mesti ditutup bersamaan. Dia juga mesti membayar gaji
tak penuh ke sejumlah guru lantaran kurang biaya.
Namun, dia senang guru-guru yang
merupakan orang lokal itu bersedia dibayar kurang dan tetap mengajar anak-anak.
John masih punya banyak mimpi ke depan.
Dia ingin Taman Daun Lembata hadir di Flores, seperti yang terdekat Lembata,
Adonara dan Alor. John juga masih punya cita-cita besar yang terus dia
perjuangkan.
Dia ingin membangun sekolah alam
formal untuk SD-SMA. Keinginan itu lantaran ibunya sangat ingin John lulus
kuliah dan memakai toga. Namun, dua kali mencoba dia gagal dan memutuskan
berhenti.
"Jadi, saya mau ajakin mama lihat
sekolah itu, inilah toga sesungguhnya," tutur John. (sumber:
medcom/Foto: IG)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.