Taman Daun, Wujudkan Pendidikan Gratis di Lembata - Salingka Nagari

Info Terkini

Post Top Ad


Kamis, 18 Agustus 2022

Taman Daun, Wujudkan Pendidikan Gratis di Lembata


Lembata, Anetry.Net
– Salah satu jalan menyiapkan generasi adalah melalui pendidikan. Hal ini pula yang sudah ada di kepala John SJ Batafor.

 

John adalah seorang aktivis pendidikan di Kabupaten Lembata Nusa Tenggara Timur. Ia mengelola Taman Daun Lembata yang didirikan kakak sepupunya, Goris Ubas Batafor pada 1987 untuk memberikan pendidikan gratis pada anak-anak di Lembata.

 

Taman Daun Lembata bermula dari kumpulan anak-anak yang dibawa ibu mereka saat pemberdayaan tenun. Selama menunggu ibu mereka menenun, daripada mengganggu, Goris mengajak anak-anak belajar membaca. Goris yang beberapa kali keliling kota di Indonesia membawa pulang oleh-oleh buku ke Lembata. Buku-buku itulah yang menjadi teman anak-anak.

 

"Dari situ mulai bergerak ke pendidikan. Cuma kakak enggak tahu kenapa, enggak terlalu fokus, (akhirnya) saya ambil alih," cerita John saat diwawancari media Medcom.id, Senin lalu.

 

Kini Taman Daun tersebar di seluruh desa di Lembata. Saat ini, ada 15 cabang Rumah Gemohing atau biasa disebut kelas belajar. Gemohing sendiri bermakna gotong royong. Di masyarakat NTT, gemohing diartikan sebagai aktivitas bersama sekumpulan orang untuk menjalankan satu kegiatan di dalam kampung. 

 

John memahami, untuk membangun negara menjadi besar, anak-anak mesti mulai membangun desa mereka. Apalagi, masih banyak wilayah tertinggal di Lembata yang membutuhkan perubahan.

 

Dibantu guru dan relawan mengajar anak-anak yang berjumlah hampir 200 orang di pusat Taman Daun Lembata yang terletak di Lewoleba, Kecamatan Nubatukan, Kabupaten Lembata. Sementara itu, jumlahnya mencapai ribuan anak di 15 cabang Taman Daun Lembata.

 

Anak-anak mendapat pembelajaran setiap Senin-Jumat sepulang sekolah selama 1,5-2 jam, terkadang pelajaran tambahan pada Sabtu.

 

Mereka tak cuma diajari orang lokal tapi juga relawan warga negara asing (WNA). Lewat WNA, anak-anak diajarkan bahasa Inggris juga saling bertukar budaya. Berbeda dari sekolah formal, anak-anak sengaja didekatkan dengan alam di Taman Daun Lembata. "Di sini tidak ada dinding, kalau hujan atap ada, tapi tidak ada dinding," kata John sambil tertawa.

 

Pelajaran untuk anak-anak berorientasi pada alam, seni, dan budaya. Selain belajar baca dan tulis, anak-anak mendapatkan pelajaran sesuai potensi yang ada di sekitar mereka. Desa di sekitar pesisir misalnya, anak-anak bakal banyak mendapat pelajaran soal cara menjaga laut.

 

John menyebut melalui Taman Daun Lembata, dia mendorong anak-anak mengenali lingkungannya. Serta menganalisa potensi yang dimiliki desa mereka. Ia ingin anak-anak yang belajar kelak bisa membagun desa. Apalagi, bila mereka sudah sudah mengenali potensi desanya.

 

"Karena kalau mereka besar, kalau mereka menjadi kepala desa, mereka bisa jadi kepala desa yang mampu biayai desa sendiri, mereka bisa kelola potensi alam yang dimiliki," tutur John.

 

Sejumlah program yang dijalankan Taman Daun Lembata, seperti penanaman terumbu karang, penanaman sayur, mengunjungi komunitas baby turttle, camping, hingga mengunjungi desa wisata. Di basecamp pusat Taman Daun Lembata, John juga menyiapkan tanah kosong untuk anak-anak menanam sayur. Anak-anak diberikan bibit sayur dan mesti menanam hingga panen.

 

Setelah panen, sayur dibawa pulang secukupnya untuk makan bersama keluarga. Sedangkan, sisanya dijual. "Uang jual sayur, 75 persen tabungan 25 persennya untuk beli bibit tanam lagi. Mereka punya tabungan untuk sekolah sehingga tidak membebankan pengeluaran orang tua. Karena biaya terbesar itu jenjang  universitas," ucap John.

 

John mengaku, baik orang tua maupun anak-anak senang dengan keberadaan Taman Daun Lembata. Sebab, anak-anak mendapat banyak pengetahuan di luar sekolah formal. Di sana juga menyediakan perpustakaan dan museum mini yang memibikin anak-anak makin betah.

 

Perjalanan John membentuk anak-anak berkontribusi bukan hanya untuk desa tetapi negara masih jauh. Namun, dia senang Taman Daun Lembata membuat potensi anak-anak keluar. Mereka yang belajar di Taman Daun Lembata juga berprestasi di sekolah formal. Mereka kerap mengikuti lomba dan tampil di sekolah.

 

"Anak-anak Lembata ini pintar cuma bagaimana kita dorong mereka," tutur John.

 

John juga menceritakan, ia sempat kesulitan membayar gaji guru sebesar Rp500 ribu per bulan. Hal itu membuat Rumah Gemohing di tujuh desa mesti ditutup bersamaan. Dia juga mesti membayar gaji tak penuh ke sejumlah guru lantaran kurang biaya.

 

Namun, dia senang guru-guru yang merupakan orang lokal itu bersedia dibayar kurang dan tetap mengajar anak-anak.

 

John masih punya banyak mimpi ke depan. Dia ingin Taman Daun Lembata hadir di Flores, seperti yang terdekat Lembata, Adonara dan Alor. John juga masih punya cita-cita besar yang terus dia perjuangkan.

 

Dia ingin membangun sekolah alam formal untuk SD-SMA. Keinginan itu lantaran ibunya sangat ingin John lulus kuliah dan memakai toga. Namun, dua kali mencoba dia gagal dan memutuskan berhenti.

 

"Jadi, saya mau ajakin mama lihat sekolah itu, inilah toga sesungguhnya," tutur John. (sumber: medcom/Foto: IG)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Post Top Ad