Guru Hasilkan Karya Tulis, Siapa Mengapresiasi? - Salingka Nagari

Info Terkini

Post Top Ad


Sabtu, 21 Mei 2022

Guru Hasilkan Karya Tulis, Siapa Mengapresiasi?


Anetry.Net
– Lahirnya sebuah karya tulis, terbit dan beredar di masyarakat, merupakan sebuah bukti pendalaman terhadap keilmuan.

 

Sebuah buku yang dihasilkan dari pendalaman keilmuan, hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki kemauan tinggi dan mau menyisihkan waktu demi proses yang tidak mudah dan perlu ketekunan.

 

Sebutlah para pendidik yang juga diwajibkan menulis sesuai dengan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) Guru yang membebani mereka sedemikian rupa. Tidak akan lahir sebuah karya, bila si guru tidak mampu menyiasati diri dan waktu yang ia miliki. Waktu yang dipunyai bukan hanya untuk menuliskan ide dan pemikiran, tapi sekaligus untuk melakukan pendalaman terhadap materi yang sedang digagas. Kerja yang tidak mudah, tak jarang juga melelahkan.

 

Tentunya banyak persoalan ‘behind the scene’ yang tidak diketahui saat seseorang berproses melahirkan sebuah karya tulis. Ada yang harus mengorbankan waktu istirahatnya, ada pula yang menulis dengan tertatih, bahkan penuh tekanan dari berbagai pihak. Dan dari sanalah lahir sebuah karya bermakna.

 

Sebagai pribadi yang sejak tahun 2005 menekuni bidang pembimbingan kepenulisan bagi guru-guru, - maaf sebelumnya saya batasi bahwa pembimbingan yang dilakukan benar-benar sesuai keilmuan, tanpa tendensi pribadi atau niat terselubung dengan alasan selaku pembimbing karena kebanyakan yang dibimbing menulis adalah gender sebelah, telah banyak melihat dan berdiskusi dengan para guru penulis. Ada yang meminta saran tentang pengaturan waktu (yang saya sebut sebagai ‘mencuri waktu’),  ada pula yang meminta bantuan untuk mencarikan referensi karena keterbatasan mereka atau jaringan internet yang bermasalah. Sungguh sebuah pengalaman berharga, sehingga saya menghargai mereka dengan cara-cara tertentu, yang sekali saya tegaskan menggunakan cara yang tetap sesuai dengan keilmuan, bukan cara-cara bermuatan intrik pribadi.

 

Mengapa kita bicara tentang persoalan menghargai? Perkembangan dunia literasi menulis, yang sejak beberapa tahun silam dijadikan sebagai program nasional oleh pemerintah dengan nama Gerakan Literasi Nasional (GLN), menjadi sesuatu yang baru bagi dunia pendidikan khususnya bagi guru selaku pendidik yang disibukkan dengan tugas mengajar di sekolah.

 

Apalagi dengan turunan program GLN menjadi Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Munculnya pjok baca, pojok tulis, majalah dinding, koran sekolah, serta buletin sekolah, dan sebagainya, menjadikan literasi menulis dan kepiawaian seorang guru dalam menghasilkan karya, pantas mendapat penghargaan.

 

“Di tempat saya mengajar, setiap guru yang berhasil menulis dan bukunya terbit, kepala sekolah akan memberikan apresiasi luarbiasa. Bahkan dibuatkan momen tersendiri dalam rapat guru, seolah seperti peluncuran mini gitu,” ujar seorang guru di Jawa Timur beberapa tahun lalu. Fakta itu hebat menurut saya. Karena guru yang bisa melahirkan karya tulis berbentuk buku ber-ISBN, adalah sosok tangguh. Tangguh sebagai pribadi yang mampu membagi pikiran, membagi waktu di antara tugas keprofesian, dan terus belajar untuk memperkaya diri dengan keterampilan.

 

Saya acungi jempol bukan hanya untuk guru penulis tersebut, tetapi juga untuk kepala sekolahnya yang ‘memanusiakan manusia’ dengan cara yang tepat. Siapa yang tidak bangga bila ‘anak buah’ muncul sebagai sosok dengan keterampilan lebih? Bila ada kepala sekolah yang hanya tersenyum dengan ‘senyuman partisipasi’ saat menerima penyerahan buku dari seorang guru, maka tidak pantas lagi disebut sebagai pimpinan. Karena berkaitan dengan kepemimpinannya, ada sisi tertentu di tugas pokok dan fungsinya (Tupoksi) yang mewajibkannya menjadi muara dari seluruh prestasi bawahan.

 

“Seharusnya bapak/ibu selaku kepala sekolah bangga bila ada anak buah yang berhasil melahirkan karya tulis dan terbit resmi berISBN. Hal tersebut menjadi prestasi bukan saja oleh pribadi bersangkutan, tapi juga bapak/ibu juga sekaligus bisa numpang ngetop dengan memblow-upnya sebagai prestasi sekolah yang bapak/ibu pimpin.” Itu kalimat saya dalam sebuah bimbingan kepenulisan untuk kepala sekolah di sebuah daerah di Kalimantan beberapa waktu lalu. Dan mereka manggut-manggut, entah karena paham atau tidak, saya tidak pikirkan.

 

Menulis dan menghasilkan karya tulis, memang dua hal berbeda. Ada yang menghasilkan karya tulis tanpa menulis satu kata pun. Banyak kasus yang tidak terbuka, seorang yang melecehkan literasi menulis, saat membutuhkannya hanya berinisiatif memanggil anak buahnya yang telah memiliki karya tulis belum terpublikasi. Bicara diam-diam, lalu meminta karya tulis itu diubah nama penulisnya. Berhasilkah? Ya, tentunya tetap berhasil, tapi itu bukan perilaku manusia yang benar.

 

Karena itu, mari kita hargai setiap jerih-payah para guru yang telah menghasilkan karya tulis. Buku-buku guru di negeri ini masih sangat minim. Tak salah bila disebut bahwa tingkat literasi menulis di Indonesia sangat rendah, termasuk dari elemen guru.

 

Mulai sekarang, hargailah dengan cara-cara yang tepat. Guru penulis tidak meminta jempol para kepala sekolah, tidak pula minta dibantu biaya penerbitannya. Setidaknya dengan senyum yang tulus, menerima karya mereka dengan tangan terbuka, adalah apresiasi tanpa modal yang dapat memotivasi mereka.  (*)

 

Penulis: Nova Indra (CEO P3SDM Melati, Penulis, Wartawan, Owner Media)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Post Top Ad