Anetry.Net – Lahirnya sebuah karya tulis, terbit dan beredar di masyarakat, merupakan sebuah bukti pendalaman terhadap keilmuan.
Sebuah buku yang
dihasilkan dari pendalaman keilmuan, hanya bisa dilakukan oleh mereka yang
memiliki kemauan tinggi dan mau menyisihkan waktu demi proses yang tidak mudah
dan perlu ketekunan.
Sebutlah para pendidik
yang juga diwajibkan menulis sesuai dengan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan
(PKB) Guru yang membebani mereka sedemikian rupa. Tidak akan lahir sebuah
karya, bila si guru tidak mampu menyiasati diri dan waktu yang ia miliki. Waktu
yang dipunyai bukan hanya untuk menuliskan ide dan pemikiran, tapi sekaligus
untuk melakukan pendalaman terhadap materi yang sedang digagas. Kerja yang
tidak mudah, tak jarang juga melelahkan.
Tentunya banyak
persoalan ‘behind the scene’ yang
tidak diketahui saat seseorang berproses melahirkan sebuah karya tulis. Ada
yang harus mengorbankan waktu istirahatnya, ada pula yang menulis dengan
tertatih, bahkan penuh tekanan dari berbagai pihak. Dan dari sanalah lahir
sebuah karya bermakna.
Sebagai pribadi yang
sejak tahun 2005 menekuni bidang pembimbingan kepenulisan bagi guru-guru, - maaf
sebelumnya saya batasi bahwa pembimbingan yang dilakukan benar-benar sesuai
keilmuan, tanpa tendensi pribadi atau niat terselubung dengan alasan selaku pembimbing
karena kebanyakan yang dibimbing menulis adalah gender sebelah, telah banyak
melihat dan berdiskusi dengan para guru penulis. Ada yang meminta saran tentang
pengaturan waktu (yang saya sebut sebagai ‘mencuri waktu’), ada pula yang meminta bantuan untuk mencarikan
referensi karena keterbatasan mereka atau jaringan internet yang bermasalah. Sungguh
sebuah pengalaman berharga, sehingga saya menghargai mereka dengan cara-cara
tertentu, yang sekali saya tegaskan menggunakan cara yang tetap sesuai dengan
keilmuan, bukan cara-cara bermuatan intrik pribadi.
Mengapa kita bicara
tentang persoalan menghargai? Perkembangan dunia literasi menulis, yang sejak
beberapa tahun silam dijadikan sebagai program nasional oleh pemerintah dengan
nama Gerakan Literasi Nasional (GLN), menjadi sesuatu yang baru bagi dunia
pendidikan khususnya bagi guru selaku pendidik yang disibukkan dengan tugas
mengajar di sekolah.
Apalagi dengan turunan
program GLN menjadi Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Munculnya pjok baca, pojok
tulis, majalah dinding, koran sekolah, serta buletin sekolah, dan sebagainya,
menjadikan literasi menulis dan kepiawaian seorang guru dalam menghasilkan karya,
pantas mendapat penghargaan.
“Di tempat saya
mengajar, setiap guru yang berhasil menulis dan bukunya terbit, kepala sekolah
akan memberikan apresiasi luarbiasa. Bahkan dibuatkan momen tersendiri dalam
rapat guru, seolah seperti peluncuran mini gitu,”
ujar seorang guru di Jawa Timur beberapa tahun lalu. Fakta itu hebat menurut
saya. Karena guru yang bisa melahirkan karya tulis berbentuk buku ber-ISBN, adalah
sosok tangguh. Tangguh sebagai pribadi yang mampu membagi pikiran, membagi waktu
di antara tugas keprofesian, dan terus belajar untuk memperkaya diri dengan
keterampilan.
Saya acungi jempol
bukan hanya untuk guru penulis tersebut, tetapi juga untuk kepala sekolahnya
yang ‘memanusiakan manusia’ dengan cara yang tepat. Siapa yang tidak bangga
bila ‘anak buah’ muncul sebagai sosok dengan keterampilan lebih? Bila ada kepala
sekolah yang hanya tersenyum dengan ‘senyuman partisipasi’ saat menerima
penyerahan buku dari seorang guru, maka tidak pantas lagi disebut sebagai
pimpinan. Karena berkaitan dengan kepemimpinannya, ada sisi tertentu di tugas
pokok dan fungsinya (Tupoksi) yang mewajibkannya menjadi muara dari seluruh
prestasi bawahan.
“Seharusnya bapak/ibu
selaku kepala sekolah bangga bila ada anak buah yang berhasil melahirkan karya
tulis dan terbit resmi berISBN. Hal tersebut menjadi prestasi bukan saja oleh pribadi
bersangkutan, tapi juga bapak/ibu juga sekaligus bisa numpang ngetop dengan
memblow-upnya sebagai prestasi sekolah yang bapak/ibu pimpin.” Itu kalimat saya
dalam sebuah bimbingan kepenulisan untuk kepala sekolah di sebuah daerah di
Kalimantan beberapa waktu lalu. Dan mereka manggut-manggut,
entah karena paham atau tidak, saya tidak pikirkan.
Menulis dan
menghasilkan karya tulis, memang dua hal berbeda. Ada yang menghasilkan karya
tulis tanpa menulis satu kata pun. Banyak kasus yang tidak terbuka, seorang
yang melecehkan literasi menulis, saat membutuhkannya hanya berinisiatif
memanggil anak buahnya yang telah memiliki karya tulis belum terpublikasi.
Bicara diam-diam, lalu meminta karya tulis itu diubah nama penulisnya. Berhasilkah?
Ya, tentunya tetap berhasil, tapi itu bukan perilaku manusia yang benar.
Karena itu, mari kita
hargai setiap jerih-payah para guru yang telah menghasilkan karya tulis.
Buku-buku guru di negeri ini masih sangat minim. Tak salah bila disebut bahwa
tingkat literasi menulis di Indonesia sangat rendah, termasuk dari elemen guru.
Mulai sekarang,
hargailah dengan cara-cara yang tepat. Guru penulis tidak meminta jempol para
kepala sekolah, tidak pula minta dibantu biaya penerbitannya. Setidaknya dengan
senyum yang tulus, menerima karya mereka dengan tangan terbuka, adalah
apresiasi tanpa modal yang dapat memotivasi mereka. (*)
Penulis: Nova Indra (CEO P3SDM Melati, Penulis,
Wartawan, Owner Media)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.