Anetry.Net -- Membentuk sebuah harmonisasi, kearifan budaya yang turut membungkus indahnya alam dan menjaga kelestariannya lewat berbagai aturan adat (awig-awig) masyarakat Pulau Bali.
Tak ada habisnya menceritakan Pulau Bali, dengan segenap keunikan
dan keindahan alam yang terkandung di dalamnya. Land of Gods atau Pulau Dewata adalah sebutan
dari pulau seluas 5.780 kilometer persegi ini.
Kearifan budaya turut membungkus indahnya alam dan menjaga
kelestariannya lewat berbagai aturan adat (awig-awig), sehingga membentuk sebuah harmonisasi. Semua itu karena adanya
keinginan untuk mempertahankan kelestarian lingkungan.
Salah satu yang dipraktikkan masyarakat Bali dalam mempertahankan
kelestarian alam ada di Desa Adat Sangeh yang terletak di Kecamatan Abiansemal,
Kabupaten Badung. Untuk mencapainya dapat ditempuh dengan berkendara selama 50
menit dari ibu kota, Denpasar, yang berjarak hampir 25 km.
Seperti dikutip dari website Pemerintah Kabupaten Badung, Desa
Adat Sangeh punya luas 450 hektare. Desa dengan populasi 4.367 jiwa atau
sekitar 3.000 kepala keluarga per 31 Desember 2020 itu merupakan daerah tujuan
wisata utama di Badung.
Terdapat pula kawasan konservasi hutan seluas hampir 14 hektare
atau tepatnya 13,91 ha sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor
SK.203/Menhut-II/2014 tentang Penetapan Kawasan Taman Wisata Alam Sangeh
(RTK.21) di Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Aturan hukum ini terbit pada 3
Maret 2014.
Mayoritas flora yang tumbuh di hutan ini adalah pohon pala (Dipterocarpus hasseltii) yang
berjumlah sekitar 400 batang pohon dan berumur antara 200--400 tahun. Diameter
pohon dapat mencapai rata-rata 1,5-2 meter dengan akarnya yang besar dan kuat.
Dalam jumlah kecil, tumbuh flora jenis-jenis lainnya yang terhitung langka
seperti beringin (Ficus sp.), mahoni (Swietenia macrophylla), pule (Alstonia scholaris), juwet (Syzygiun cumim), dan nyamplung (Callophyllum inophyllum).
Tumbuh suburnya berbagai jenis pohon yang seakan berlomba saling
tinggi menjulang hingga belasan meter memberi kesejukan bagi kawasan Desa
Sangeh dengan suhu rata-rata 23--25 derajat Celcius. Hutan ini juga menjadi
daerah resapan air bagi lingkungan di sekitarnya.
Pohon pala atau dikenal sebagai alas phala oleh masyarakat
setempat, seperti dikutip dari website Badan Konservasi Sumber Daya Alam Bali,
diketahui telah ditanam di hutan ini sejak masa Kerajaan Mengwi pada abad 17.
Hal itu seiring hadirnya Pura Bukit Sari yang berada di tengah-tengah hutan
seperti disebutkan di dalam Lontar Babad Mengwi.
Menurut pihak Parisada Hindu Dharma Indonesia, terdapat sekitar 36
bangunan suci di dalam hutan alas phala, yang juga merupakan sebuah taman
wisata alam. Bagi masyarakat setempat, buah pala dipakai untuk beragam kegiatan
keagamaan misalnya upacara ngaben dan memberi dampak besar bagi upaya
konservasinya. Oleh karena makna budaya itulah, pohon-pohon pala tersebut
kemudian dilestarikan oleh warga desa.
Selain memungut dan menjual buah bagi keperluan upacara keagamaan,
warga juga mengembangkan bibit pala untuk dijual kepada umum. Demikian
diungkapkan oleh peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional Ni Kadek Erosi
Undaharta yang menyampaikan hal itu lewat tulisan soal menjaga kelestarian
hutan dikaitkan dengan kearifan lokal dan upaya konservasi di jurnal Science Direct, Volume 121, Desember 2020.
Kadek mengatakan, Desa Sangeh menjadi satu-satunya habitat pala
yang tersisa di luar hutan lindung di Bali dan upaya konservasi serta
kelestarian budaya berhasil dilakukan karena dilakukan beriringan. Adanya
penataagunaan yang jelas, faktor ekowisata, dan identitas budaya yang kuat
menjadi penentu keberhasilan itu.
Keterlibatan masyarakat Desa Adat Sangeh dalam melindungi dan
melestarikan hutan suci ini turut diakui Bendesa Adat Sangeh I Gusti Adi
Wiraputra. Disepakatinya awig-awig oleh
seluruh warga desa adalah kunci utama keberhasilan menjaga kelestarian hutan
pala yang setiap tahunnya dikunjungi oleh lebih dari 30 ribu turis asing.
Masyarakat dilarang keras menebangi pohon yang tumbuh di dalam
hutan. Mereka hanya diperbolehkan mengambil ranting, daun, atau buah yang telah
jatuh ke tanah. "Untuk menjaga kebersihan hutan ini, warga kami dengan
penuh kesadaran sejak pukul 04.00--05.00 WITA sudah menyapu dan bersih-bersih
di jalan sekitar hutan. Hal seperti ini mungkin tidak dilakukan di daerah
lain," kata Wiraputra.
Kawasan ini juga dikenal oleh turis mancanegara sebagai The Monkey
Forest. Lantaran di dalam kawasan konservasi ini hidup sekitar 600 kera ekor
panjang (Macaca fascicularis) yang
berbulu abu-abu. Spesies ini hidup dalam tiga kelompok besar di hutan pala
Sangeh. Mereka hidup berdampingan dengan mamalia lainnya seperti musang (Paradoxurus hermaphroditus).
Fauna lainnya sebagian besar adalah burung-burungan seperti
kipasan (Rhipidura javanica), tekukur
(Streptopelia chinensis), elang
bondol (Haliastur indus),
kepodang (Oriulus chinensis).
Terdapat pula burung endemik Bali yakni jalak putih (Sturnus melanopterus), dan
kutilang (Pycnonotus aurigaster), serta
puyuh (Turnix suscitator).
Ada perlakuan khusus yang diberikan warga setempat kepada kera
ekor panjang yang juga menjadi daya tarik objek wisata hutan pala ini. Secara
bergantian para penduduk desa memberi ketela, pisang, atau tanaman buah lainnya
sebagai makanan jero gede, sebutan
mereka untuk para kera. Setiap harinya sebanyak 3-4 karung pakan ketela dan
pisang seberat 50 kilogram diberikan. Aneka makanan kera tadi ditanam khusus di
kebun-kebun warga melalui dana kas desa yang didapat dari penjualan tiket masuk
ke hutan pala.
Pemberian makan secara teratur pada pagi dan sore hari ini
dimaksudkan agar kera-kera tadi menjadi jinak dan tidak mengganggu para turis.
Hal ini sempat membuat kawasan tersebut acap dihindari turis ketika berwisata
ke Bali. Karena kera-kera tersebut sering menyerang dan merampas makanan atau
barang-barang milik pengunjung. Situasi tadi kemudian berimbas kepada
perekonomian warga yang menggantungkan nafkahnya dari objek wisata ini.
Oleh sebab itu lewat pengelolaan berkelanjutan yang dilakukan
masyarakat dan pemerintah, hutan pala di Desa Adat Sangeh dapat terus
berkontribusi terhadap konservasi keanekaragaman hayati. Sekaligus sebagai
simbol penghormatan manusia terhadap alam. (Sumber:
Indonesia.go.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.