Anetry.Net – Guru jadi korban perundungan siswa? Kejadian ini cukup sering didengar. Kerap terjadi di jenjang sekolah yang lebih tinggi, tapi juga ditemukan di sekolah dasar.
Bentuk
perundungan yang dialamatkan pada guru oleh siswa terjadi dalam ragam yang
berbeda-beda. Ada yang melisankan kata-kata kotor, ada pula yang menuliskannya
di kertas atau di buku. Semua itu tentu menjadi masalah di tengah penguatan
pendidikan karakter (PPK).
Seorang
guru sekolah dasar (SD) di sebuah daerah menceritakan pengalamannya. Sebagai
guru kelas tinggi, di tengah persiapan penuju Penilaian Akhir Tahun (PAT) dan
Ujian Sekolah (US) yang akan berlangsung di awal hingga pekan ketiga April
mendatang, semangatnya untuk menyelesaikan materi pembelajaran begitu tinggi.
Tugas-tugas memahami materi ajar, memberikan penugasan dan lainnya, dilakukan
secara baik sesuai standar yang ada. Siswa yang diampunya dalam rombongan
belajar itu pun dapat menyelesaikan dengan baik.
“Tapi
hari ini ada masalah di kelas. Tugas rumah (PR) yang diberikan sebelumnya tidak
dikerjakan oleh siswa, hanya ada beberapa siswa saja yang menyelesaikan dan
menyerahkannya pada saya sebagai guru mereka. Dan ketika ditanyakan apa
masalahnya, di saat itulah ada tulisan-tulisan di buku siswa mengunakan
kata-kata kotor,” demikian ungkap guru tersebut kepada penulis.
Menurutnya,
sebagai guru yang sudah berupaya memberikan pendidikan dan pengajaran yang
baik, mendapati hal demikian tentu saja membuat hati miris, sedih, sekaligus
kecewa. Dan itu jelas saja sangat manusiawi. Telah mengajar dengan baik, namun
umpan-baliknya malah membuat emosional diacak-acak.
Pendidikan
karakter, bahkan dengan program PPK dari pemerintah sebenarnya bukanlah hal
yang dapat dilakukan seperti membalik telapak tangan. Bukan pula seperi menyuap
hidangan yang ada di piring. Pendidikan karakter adalah sebuah kompleksitas
dari dunia pendidikan formal, nonformal dan informal.
Bila
di sekolah ada pendidikan karakter yang dimasukkan ke dalam materi ajar secara
tematik maupun tidak, merupakan bagian dari program saja. Urusan siswa menjadi
manusia berkarakter baik, bukanlah bagian dari tangungjawab guru. Guru hanya
menjadi penyampai saja dari seluruh materi baik secara akademis maupun
nonakademis. Selebihnya adalah beban dan tanggungjawab orangtua siswa di rumah.
Kalau
saja dihitung, jam yang digunakan guru untuk mengawasi dan mendidik di sekolah
hanya berkisar antara 4-6 jam saja. Sementara selebihnya adalah waktu si siswa
berada di rumah yang tentu saja bukan lagi dalam pengawasan guru, tetapi
pengawan penuh dari orangtua.
Bila
karakter si anak baik, didikan rumahannya telah sempurna dari orangtua, tentu
di sekolah akan muncul siswa yang dengan mudah diberikan asupan didikan
karakter. Namun apabila didikan di rumah dari orangtua atau siapapun yang
memberikan teladan pada mereka tidak benar, maka muncullah siswa yang sulit
diberikan pemahaman tentang perilaku positif.
Jadi
di sini, persoalan pendidikan karakter siswa tidak semata-mata menjadi tugas
guru. Orangtualah yang memiliki tanggungjawab penuh untuk membangun karakter
baik dalam diri anaknya. Didikan baik akan melahirkan anak yang baik, dan
sebaliknya didikan yang tidak tepat akan melahirkan anak dengan tumbuhkembang
‘kurang ajar.’
Lalu
harusnya bagaimana bila terjadi perundungan terhadap guru oleh siswa? Apakah
guru dengan legowo serta-merta memaafkannya?
Bila itu yang dilakukan, maka sama saja dengan permisif terhadap perilaku
negatif. Jadi seperti apa harusnya? Apakah harus marah besar atau memberikan
ganjaran agar kejadian serupa tidak terulang dan tidak menjadi kebiasaan
menular?
Di
sinilah kebijaksanaan seorang guru harus terbentuk sempurna. Guru adalah sosok
yang dikenal bijaksana, tahu segalanya, dan mampu menemukan pemecahan masalah
dengan cara-cara yang terukur dan mengena.
Seorang
siswa yang berpeilaku buruk seperti melakukan perundungan pada guru, adalah
bukti dari didikan yang tidak selaras antara sekolah dan rumah. Bisa dikatakan
bahwa siswa dengan perilaku negatif itu adalah cerminan bagaimana kondisi dan
keadaan komunikasi antara anak dan orangtuanya.
Sebagai
seorang guru, harus bisa membedakan di mana sisi yang harus dijadikan pijakan.
Memberikan ganjaran yang terukur adalah salah satu cara agar perilaku serupa
tidak terulang. Namun bukan itu saja, melakukan diskusi dengan orangtua siswa
juga dapat dijadikan salah satu jalan keluar sementara. Orangtuanya dipanggil
ke sekolah, paparkan keadaan dan kejadian yang sebenarnya, lalu minta apa yang
harus dilakukan oleh guru untuk penyelesaiannya.
Biarkan
orangtua siswa berpikir untuk memberikan masukan ganjaran yang sesuai. Karena dengan
begitu, orangtua siswa akan menjadi lebih paham bahwa anaknya bukan
tanggungjawab penuh guru. Si anak adalah gambaran dirinya sendiri, bukan
cerminan guru.
Bila
hal itu dilakukan, maka dipastikan terjalin kerjasama yang baik antara guru dan
orangtua siswa dalam menjembatani pendidikan karakter di sekolah dan
pembentukan karakter di rumah. Karena dalam pemahaman yang lebih luas
dinyatakan, memanusiakan manusia bukanlah tugas guru, guru hanyalah mengisi
pengetahuan dalam diri siswa selaku manusia saja. Proses memanusiakannya adalah
kewajiban tak terpisah dari orangtua anak.
Penulis: Nova Indra – CEO Pusat
Pengkajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (P3SDM) Melati







Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.