Anetry.Net – Saya pernah berbincang dengan
sosok yang kesehariannya diberi tugas sebagai penilai karya tulis guru. Awalnya
ada rasa ‘bahagia’ bisa menyempatkan waktu untuk itu.
Apa
yang membuat bahagia itu saya rasakan di awal? Sebelumnya saya sedang mencari
para tokoh pendidik yang melakukan pengembangan literasi sebagai bentuk dukungannya
pada progran Gerakan Literasi Nasional. Dan di saat bersamaan, ada beberapa
kegiatan di daerah dalam rangka Roadshow lembaga Pusat Pengkajian dan Pengembangan
Sumber Daya Manusia (P3SDM) Melati yang saya pimpin.
Untuk
kegiatan dan program itu, tentunya akan lebih layak bila saya dan lembaga P3SDM
Melati mengikutsertakan para tokoh lokal. Hal itu dengan pertimbangan, selain
memudahkan komunikasi dengan sasaran, setidaknya saya mendapatkan teman baru
dalam menggiatkan budaya literasi.
Tapi
apa boleh dikata, harapan itu pudar dengan satu kalimat saja. Ibarat seorang
lelaki yang mencari jodoh untuk diikat dalam sebuah perjanjian mulia menuju
pelaminan, si perempuan ternyata bukan tipe yang diidamkan. Tentunya ada
kecewa, ada sesal.
Perbincangan
saya saat itu dengan orang yang saya anggap tokoh tersebut hanya terjadi
beberapa kalimat saja. Kekecewaan muncul setelah yang bersangkutan menjawab, “saya
belum menghasilkan karya tulis apapun.”
Lalu
saya katakan, sesuai rekomendasi dari beberapa pihak, sosoknya adalah orang
yang tepat diajak berbincang dalam mengembangkan literasi di kalangan guru di
daerah itu. Lagi lagi di menjawab, “saya diberi tugas menilai karya tulis, namun
karena kesibukan itu saya jadi tidak sempat untuk menulis.”
Sebagai
seorang penulis dan juga pernah berkutat dengan profesi guru, saya merasa jengah
dengan jawaban demikian. Di satu sisi, saya memahami bahwa setiap orang
memiliki perbedaan cara dalam membagi waktu untuk menyempatkan menulis, sementara
di sisi lain ada kemarahan dalam pikiran saya terhadap ‘kesombongan’ yang ia
tampilkan melalui kalimatnya.
Saya
pun berpikir bagaimana caranya menyampaikan kepadanya agar ia menyadari bahwa
memberi teladan yang baik adalah bentuk yang dibutuhkan oleh setiap pihak di
kehidupan ini. Lalu saya pun berkata, “wah, kalau begitu bagaimana anda menilai
karya tulis sementara anda tidak menyelami dunia tersebut?”
Dan
apa jawabannya? Selain punya tugas menilai karya tulis, saya juga biasa
membimbing kepenulisan. Jadi saya tahu seluk-beluk dunia menulis. Saya pun
semakin gerah. Dalam pikiran saya berkata, “ini orang memang bebal.”
Di dunia
profesional, tidak ada orang yang ahli tanpa memberi bukti. Mungkin di bidang
keprofesian lain juga begitu. Semua dinilai dari hasil kerja dan kinerja. Semua
dilihat dari sejauhmana seseorang menghasilkan bentuk-bentuk ide dan pikirannya
yang diejawantahkan dalam keseharian.
Mungkinkah
seorang yang tidak pernah menulis karya ilmiah lalu otomatis bisa memberi
penilaian sesuai dengan kebutuhan? Saya pastikan, tidak! Kalau memberikan
penilaian sesuai pikiran dan tendensinya, semua orang juga bisa. Menilai dengan
‘seenak perut’ dan intrik yang ada dalam diri, mungkin menjadi pilihan dengan
topeng tugas serta jabatan yang dimiliki.
Dari
pengalaman ini, saya berkesimpulan pantas saja gerakan literasi nasional tidak
akan berkembang dengan baik. Program nasional yang juga diiringi dengan program
turunannya seperti Gerakan Literasi Digital Nasional (GLDN) hanya menjadi
pemanis kebijakan serta untuk memberi sekelompok orang jabatan dan tugas yang
berimbas pada bayaran yang harus dikeluarkan oleh negara. Miris, memang.
Sementara
itu di sisi pelaku yang diwajibkan menulis, merasa tersudutkan ketika sosok
yang tidak tahu apa-apa tentang dunia kepenulisan dengan jabatan sebagai tim
penilai itu memberi garis bawah dan coretan pada karya tulis mereka. Apakah
dunia sudah benar-benar terbalik? Sungguh malang nasib mereka yang berupaya
melahirkan karya tulis, lalu dicoret dan dihina oleh orang-orang yang tidak
pernah menulis apapun selama ini.
Bagaimana
jalan keluar yang baik untuk masalah-masalah seperti ini? Bagaimana agar GLN
terus menggaung dan menjadi salah satu penentu syarat kenaikan pangkat dan
golongan guru mulai dari kepangkatan IIIc dan seterusnya?
Cara
yang paling elegan adalah, para pemangku kepentingan benar-benar mau
menjalankan tugasnya dengan baik. Bukan sekadar menyiapkan orang yang akan menilai,
tapi juga menyiapkan ketentuan dasar untuk terpilihnya seseorang sebagai bagian
dari tim tersebut.
Dan
bagi sosok-sosok yang ingin menjadi bagian dari tim penilai, ada baiknya
merendahkan hati untuk belajar bila
selama ini tidak memiliki kapasitas di bidang kepenulisan. Jangan pernah
menyombongkan diri berjalan di muka bumi Allah ini.
Seperti yang saya tulis dalam sebuah
postingan, “menulis itu cerminan diri;
bila anda membaca tulisan seseorang, maka otomatis anda bisa menyelami seperti
apa pikirannya. Baik atau buruk, benar atau salah, tergambar nyata dalam
tulisan. Lalu bagaimana bila seseorang yang dalam profesinya diwajibkan menulis
namun tidak pernah menghasilkan karya apapun? Jawabnya: ia bukan siapa-siapa!”
Penulis: Nova Indra (CEO P3SDM Melati, Penulis,
Pimpinan Sekolah Indonesia Menulis)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.