Tidak Punya Karya Apapun Tapi Jadi Penilai Karya Tulis? Lucu! - Salingka Nagari

Info Terkini

Post Top Ad


Sabtu, 14 Mei 2022

Tidak Punya Karya Apapun Tapi Jadi Penilai Karya Tulis? Lucu!

 



Anetry.Net – Saya pernah berbincang dengan sosok yang kesehariannya diberi tugas sebagai penilai karya tulis guru. Awalnya ada rasa ‘bahagia’ bisa menyempatkan waktu untuk itu.

 

Apa yang membuat bahagia itu saya rasakan di awal? Sebelumnya saya sedang mencari para tokoh pendidik yang melakukan pengembangan literasi sebagai bentuk dukungannya pada progran Gerakan Literasi Nasional. Dan di saat bersamaan, ada beberapa kegiatan di daerah dalam rangka Roadshow lembaga Pusat Pengkajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (P3SDM) Melati yang saya pimpin.

 

Untuk kegiatan dan program itu, tentunya akan lebih layak bila saya dan lembaga P3SDM Melati mengikutsertakan para tokoh lokal. Hal itu dengan pertimbangan, selain memudahkan komunikasi dengan sasaran, setidaknya saya mendapatkan teman baru dalam menggiatkan budaya literasi.

 

Tapi apa boleh dikata, harapan itu pudar dengan satu kalimat saja. Ibarat seorang lelaki yang mencari jodoh untuk diikat dalam sebuah perjanjian mulia menuju pelaminan, si perempuan ternyata bukan tipe yang diidamkan. Tentunya ada kecewa, ada sesal.

 

Perbincangan saya saat itu dengan orang yang saya anggap tokoh tersebut hanya terjadi beberapa kalimat saja. Kekecewaan muncul setelah yang bersangkutan menjawab, “saya belum menghasilkan karya tulis apapun.”

 

Lalu saya katakan, sesuai rekomendasi dari beberapa pihak, sosoknya adalah orang yang tepat diajak berbincang dalam mengembangkan literasi di kalangan guru di daerah itu. Lagi lagi di menjawab, “saya diberi tugas menilai karya tulis, namun karena kesibukan itu saya jadi tidak sempat untuk menulis.”

 

Sebagai seorang penulis dan juga pernah berkutat dengan profesi guru, saya merasa jengah dengan jawaban demikian. Di satu sisi, saya memahami bahwa setiap orang memiliki perbedaan cara dalam membagi waktu untuk menyempatkan menulis, sementara di sisi lain ada kemarahan dalam pikiran saya terhadap ‘kesombongan’ yang ia tampilkan melalui kalimatnya.

 

Saya pun berpikir bagaimana caranya menyampaikan kepadanya agar ia menyadari bahwa memberi teladan yang baik adalah bentuk yang dibutuhkan oleh setiap pihak di kehidupan ini. Lalu saya pun berkata, “wah, kalau begitu bagaimana anda menilai karya tulis sementara anda tidak menyelami dunia tersebut?”

 

Dan apa jawabannya? Selain punya tugas menilai karya tulis, saya juga biasa membimbing kepenulisan. Jadi saya tahu seluk-beluk dunia menulis. Saya pun semakin gerah. Dalam pikiran saya berkata, “ini orang memang bebal.”

 

Di dunia profesional, tidak ada orang yang ahli tanpa memberi bukti. Mungkin di bidang keprofesian lain juga begitu. Semua dinilai dari hasil kerja dan kinerja. Semua dilihat dari sejauhmana seseorang menghasilkan bentuk-bentuk ide dan pikirannya yang diejawantahkan dalam keseharian.

 

Mungkinkah seorang yang tidak pernah menulis karya ilmiah lalu otomatis bisa memberi penilaian sesuai dengan kebutuhan? Saya pastikan, tidak! Kalau memberikan penilaian sesuai pikiran dan tendensinya, semua orang juga bisa. Menilai dengan ‘seenak perut’ dan intrik yang ada dalam diri, mungkin menjadi pilihan dengan topeng tugas serta jabatan yang dimiliki.

 

Dari pengalaman ini, saya berkesimpulan pantas saja gerakan literasi nasional tidak akan berkembang dengan baik. Program nasional yang juga diiringi dengan program turunannya seperti Gerakan Literasi Digital Nasional (GLDN) hanya menjadi pemanis kebijakan serta untuk memberi sekelompok orang jabatan dan tugas yang berimbas pada bayaran yang harus dikeluarkan oleh negara. Miris, memang.

 

Sementara itu di sisi pelaku yang diwajibkan menulis, merasa tersudutkan ketika sosok yang tidak tahu apa-apa tentang dunia kepenulisan dengan jabatan sebagai tim penilai itu memberi garis bawah dan coretan pada karya tulis mereka. Apakah dunia sudah benar-benar terbalik? Sungguh malang nasib mereka yang berupaya melahirkan karya tulis, lalu dicoret dan dihina oleh orang-orang yang tidak pernah menulis apapun selama ini.

 

Bagaimana jalan keluar yang baik untuk masalah-masalah seperti ini? Bagaimana agar GLN terus menggaung dan menjadi salah satu penentu syarat kenaikan pangkat dan golongan guru mulai dari kepangkatan IIIc dan seterusnya?

 

Cara yang paling elegan adalah, para pemangku kepentingan benar-benar mau menjalankan tugasnya dengan baik. Bukan sekadar menyiapkan orang yang akan menilai, tapi juga menyiapkan ketentuan dasar untuk terpilihnya seseorang sebagai bagian dari tim tersebut.

 

Dan bagi sosok-sosok yang ingin menjadi bagian dari tim penilai, ada baiknya merendahkan hati untuk  belajar bila selama ini tidak memiliki kapasitas di bidang kepenulisan. Jangan pernah menyombongkan diri berjalan di muka bumi Allah ini.

 

Seperti yang saya tulis dalam sebuah postingan, “menulis itu cerminan diri; bila anda membaca tulisan seseorang, maka otomatis anda bisa menyelami seperti apa pikirannya. Baik atau buruk, benar atau salah, tergambar nyata dalam tulisan. Lalu bagaimana bila seseorang yang dalam profesinya diwajibkan menulis namun tidak pernah menghasilkan karya apapun? Jawabnya: ia bukan siapa-siapa!

 

Penulis: Nova Indra (CEO P3SDM Melati, Penulis, Pimpinan Sekolah Indonesia Menulis)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Post Top Ad